Naskah lakon waktu IAC 2012


SENJA DI UFUK BARAT

Babak I
Setting – Tepi pantai yang penuhi batu karang dan nyiur , di Pantai Karang Hawu, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Terdapat sebuah karang yang besar tepat di sisi lautan yang biru dan ombak yang beradu membasahi butiran pasir yang putih. Tepat di bawah pohon Casuarina equisetifolia ( cemara laut ) terdapat sebuah kursi taman yang terbuat dari kayu sengon berwarna coklat yang terletak menghadap ke laut.
Hari itu kira-kira pukul 15.00 WIB, panas matahari di awal tahun 2005 masih sangat terasa, dan sinar matahari masih tampak menyilaukan mata. Ananda, seorang gadis cantik berusia 18 tahun sedang duduk termenung di kursi yang berada tepat di bawah pohon cemara laut, dengan sabar ia menunggu seseorang yang sangat berarti untuk dirinya.
Ananda           : Kenapa dia tak kunjung datang? Saya telah 2 jam duduk di sini, tapi tak juga ada tanda-tanda kehadirannya. Angiiiiiiiiiiiiiiiiin dimana dia?
Hanya semilir angin yang menjawab pertanyaannya, Lalu tampak sepasang suami istri yang berjalan ke arah Ananda seolah ingin menghampirinya. Sepasang suami istri itu kemudian berhenti tepat di hadapan Ananda, mereka berdiri membelakangi Ananda, mereka berdua tampak sedang bertengkar.
Suami              : Bundaaa.. kenapa Bunda tak mengizinkan Ayah untuk menikah lagi?
( Dengan nada tenang )
Istri                  : ( Menunduk )
Suami              : Jawab aku Bunda..!!
Istri                  : ( Terdiam )
Suami              : Bunda…bukankah suami boleh berpoligami jika dia bisa berlaku adil?
Istri                  : Ayaah, dua tahun lalu di pantai ini…Ayah pernah berjanji bahwa hanya aku yang kau cinta sampai kapanpun..Ayah tidak akan menduakan cinta Ayah dengan yang lain..
Suami              : Tapi Bunda…Ayah akan berlaku adil…
Istri                  : Coba Ayah pikir…wanita mana yang akan merasa adil di saat cinta suaminya harus dibagi dengan wanita lain? Sedangkan ia setia pada suaminya…
Suami              : ( Terdiam )
Istri                  : ( Mulai meneteskan air mata )
Ananda yang menyaksikan suami istri tersebut tampak kebingungan.
Ananda           : Kenapa Anda berdua bertengkar di hadapanku?
Suami&istri     : ( Menoleh )
Suami              : Kau hanya anak kecil yang tidak tau apa-apa…
Ananda           : ( menunduk )
Suami              : Kau begitu bodohnya menunggu kekasihmu yang tak kunjung datang, sedangkan kau tidak tau di mana dia sekarang, sedang apa dia, dan dengan siapa dia sekarang? Boleh jadi sekarang dia sedang bersama wanita lain..
Ananda           : Kenapa Anda bisa tau bahwa saya sedang menunggunya?
Suami              : Karena kau sama bodohnya seperti istriku yang dua tahun lalu menungguku di sini..Selama 5 jam dia menunggu, dan selama itu pula dia tidak tau bahwa saya sedang bersama wanita lain..
Ananda           : Anda……………. ( tak bisa berkata-kata lagi )
Istri                  : Jadi selama ini Ayah……………??
Suami              : Ya, aku menduakan cintamu…
Istri                  : ( Berlari sambil menangis )
Suami              : Kamu…!! ( sambil menunjuk ke arah Ananda )
                        Sebaiknya kau tak usah setia…
                        ( Kemudian Suami mengejar istrinya )
Ananda           : ( Menangis )
                        Kenapa ada orang seperti itu di dunia ini?
Ananda tetap menunggu kekasihnya, hingga sinar matahari mulai redup karena fajar sudah tampak akan terbenam.

Babak II
Setting-Cahaya mulai gelap, ombak beradu semakin kencang diiringi lambaian nyiur dan guguran daun cemara laut. Ananda masih duduk di kursi dengan wajah yang cemas, ia masih tetap setia menunggu kekasihnya yang tak kunjung tiba. Dres berwarna putih yang dikenakannya sudah tampak lusuh. Lima jam ia menunggu kekasihnya yang tak kunjung tiba.
Ananda           : jangan-jangan benar yang dikatakan lelaki tadi, kekasihku sedang bersama wanita lain…Benarkah dia juga menduakan cintaku seperti lelaki tadi?
Dan seperti semula, hanya deburan ombak dan semilir angin yang menjawab pertanyaannya.
Ananda           : ( Menguap ) Aku sangat lelah menantimu Kak, kemana kau ini…tak jua datang menemuiku..
Ananda kembali menguap dan tak lama kemudian Ananda tertidur bersandar di kursi yang dinaungi pohon cemara laut.
Babak III
Setting-Sebuah ruang tamu yang cukup luas, terdapat Sofa berwarna coklat muda yang tertata rapi melingkari meja kaca berukuran 1x0,5 m. Di dinding ruang tamu bercat hijau muda terdapat sebuah foto keluarga berukuran A4 yang berada tepat di atas meja yang dipenuhi dengan foto-foto serta miniatur candi borobudur dan 2 buah vas bunga besar di kedua sisinya , di pojok ruang tamu terdapat sebuah bunga sakura plastik, terdapat pintu menuju ruang tengah di kiri ruang tamu.
Randhika, lelaki berusia 20 tahun dengan badan kekar sedang duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa lainnya di mana kedua orangtuanya duduk di sana.
Mama              : Sudah mama bilang kau tak usah pergi menemui Ananda..
Randhika         : Tapi ma, aku sudah janji akan bertemu dengannya tujuh jam yang lalu..dan mungkin sekarang ia masih menungguku…
Papa                : Dia pasti sudah pulang,, dia tak mungkin menunggumu selama itu..
Randhika         : Walau begitu aku akan tetap menemuinya, akan ku susul ia ke rumahnya..
Mama              : Tidak perlu…sudah mama bilang jangan…!!
Papa                : Besok kau akan pergi ke Jerman…besok kau akan terlambat jika kau tak segera berkemas sekarang...tak usah kau pedulikan gadis itu, di Jerman kau akan mendapatkan wanita yang lebih baik segalanya dari Ananda..
Randhika         : Tapi aku hanya mencintai Ananda…
Papa                : Cukup Dhika..!! Persetan dengan cintamu…segera berkemas!!
Randhika         : Papa tidak pernah mengerti perasaanku..( Dengan nada tinggi )
Mama              : Dhika..!!!
Randika           : ( Berlari meninggalkan kedua orangtuanya )
Papa&Mama   : Dhika…..!!! ( berteriak )
Randhika meninggalkan ruangan, dan kedua orangtuanya masih duduk di sofa dengan wajah kesal.
Babak IV
Setting-Senja mulai tiba dan cahaya semakin gelap, di Pantai Karang Hawu. Kursi sengon yang menghadap ke laut, serta daun-daun cemara laut berguguran menimpa Ananda yang terdidur lelap bersandar di kursi tersebut. Nampak Randhika berjalan menghampiri Ananda dan membangunkan tidur lelapnya.
Randika           : ( mengusap bahu Ananda )
Ananda           : ( Tetap tertidur )
Melihat Ananda tertidur di kursi tersebut, Randhika tampak merasa bersalah.
Randhika         : Ananda kau harus bangun….( berbisik di telinga ananda )
Ananda           : ( Ananda tak bergeming )
Randhika         :(Membuka jaket kulitnya yang berwarna hitam lalu menyelimutkannya pada Ananda yang terlihat kedinginan )
Kemudian Randhika duduk di sisi Ananda, telapak tangan Ananda terasa sangat dingin ketika Randhika menggenggamnya.
Randhika          : ( Panik ) Nanda…Nanda…
Randhika terus berusaha membangunkan Ananda sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ananda. Namun Ananda tetap tidak bergeming…
Randhika         : Ananda…apa yang terjadi? ( sambil mengecek detak jantung dan aliran darah Ananda )
Mendengar suara Randhika yang keras itu, Anandapun terbangun
Ananda           : ( Membuka kedua matanya )
Randhika         : Kamu tidak apa-apa Nanda?
Ananda           : Kakak…..( Bangkit dari tidurnya dan memeluk Randhika erat-erat) Kakak…kau kemana saja? Aku sangat lelah menunggumu di sini..
Randhika         : Apa yang terjadi Nan? tadi kau seperti orang yang pingsan dan aku sangat cemas..
Ananda           : Aku tidak apa-apa, hanya saja aku sangat lelah kak…
Ananda kemudian berdiri dan berjalan satu langkah membelakangi Randhika yang masih duduk di kursi
Randhika.        : Maafkan aku Nanda…orang tuaku melarangku untuk menemuimu..
Ananda           : Tidak apa-apa kak…mungkin memang seharusnya kau tidak menemuiku…
Randhika berdiri menghampiri Aananda da memegangi pundak Anada dari belakang
Randhika         : Tidak Nan…seharusnya aku menemuimu 7 jam yang lalu, tapi aku terlambat..
Ananda           : Sudahlah kak…lalu untuk apa kemarin kau memintaku untuk bertemu denganmu di sini?
Randhika         : Nanda…aku ingin bicara tentang satu hal padamu…
Ananda           : Apa kak? Kau tidak selingkuh kan?
Randhika         : Kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?
Ananda           : Tidak apa-apa, lalu apa yang ingin kau katakan?
Randhika         : Nanda…besok aku harus pergi ke Jerman, orangtuaku menyuruhku agar aku melanjutkan studiku di negeri jiran itu…
Ananda           : Itu artinya kamu meninggalkan aku kak?
Randhika         : Aku akan kembali untukmu Nan…
Ananda           : Aku tidak mau kak, berapa lama kau akan tinggal di sana?
Randhika         : 4 tahun Nan, setelah aku lulus sarjana…aku akan kembali menemuimu di sini.
Ananda           : Itu waktu yang lama Kak, kau akan menguji kesetiaanmu sendiri dan aku tidak yakin kau tak akan menduakan cintaku…
Randhika         : Percayalah Nan, aku tak akan menduakan cintamu..Percayalah Nan, selama kita berpisah tak sedikitpun cintaku kepadamu akan surut dan berubah…Aku bersumpah demi senja yang terbenam di ufuk barat, aku tidak akan menduakan cintaku walau sejuta dewi menggodaku
Ananda           : Aku tetap tidak yakin kak…Ibarat Mentari yang telah terbenam, keyakinanku jua turut bersamanya…Terbenam kak, dan entah kapan akan terbit kembali…
Randhika         : Kenapa tiba-tiba kau seperti ini?
Ananda           : Seseorang kak, seseorang yang berlalu di hadapanku telah membuyarkan keyakinanku…dan keyakinanku semakin buyar lagi saat aku menunggu dirimu yang tak kunjung datang…
Randhika         : Maafkan aku Ananda, kakakpun sebenarnya tak ingin membuatmu lama menunggu…
Ananda           : Sudahlah kak.. Jika kau ingin pergi, pergi saja dan tak perlu kau hiraukan aku…walau hati ini akan terasa sangat sakit…
Randhika         : Nanda…aku tak bisa meninggalkanmu jika kau tak yakin padaku..
Ananda           : Buktikan saja kalau memang kau bisa setia padaku…jangan hanya berjanji kak…buktikan!!!
Randhika         : Baiklah Nan, kalau begitu kau juga harus membuatku yakin bahwa kau akan setia padaku…
Ananda           : Kak…tujuh jam aku menunggumu di sini kak, apa itu tak cukup  membuatmu yakin padaku? Kak…sampai lautan ini surut dan senjapun terhanyut, cintaku akan tetap tegar seperti karang yang tak pernah goyah walau didera ombak yang kencang…
Randhika         : Aku yakin padamu Nan…
Ananda dan Randhika berhenti berbincang, tak lama kemudian mereka meninggalkan pantai secara bersamaan.
Babak V
Setting-Pukul 7 pagi di sebuah kamar tidur yang cukup luas dan sederhana, terdapat sebuah tempat tidur berukuran sedang. Di samping kiri tempat tidur terdapat sebuah meja belajar, di atasnya tampak sebuah buku diary berwarna pink yang tertutup. Di samping kanan tempat tidur terdapat meja kecil yang terdapat sebuah telpon rumah berwarna merah di atasnya.
Ananda tertidur berselimut di atas tempat tidurnya, tiba-tiba telpon berdering
Kriiingg….kriiiiingg…kriiiiiiiiing…
Ananda langsung terbangun dari tidurnya dan segera mengangkat telpon tersebut.
Ananda             : Haloooo…Assalamu’alaikum…
Orang yang menelpon ( Randhika ) : Wa’alaikum salam..Nanda ini aku Dhika..
Ananda           : Kak Dhika…( Ananda yang masih dalam posisi berbaring segera duduk di tepi tempat tidur )
Randhika         : Pagi ini kakak akan berangkat ke Jerman Nan…kakak sudah di Bandara Soekarno-Hatta sekarang…kakak menelpon dengan Handphone Papa…
Ananda           : Begitu ya kak, Baiklah…Kakak hati-hati ya, selama di Jerman jangan pernah lupa untuk menghubungi aku…aku akan sangat rindu dengan kakak…
Randhika         : Kakak juga akan sangat rindu padamu…Kamu juga harus selalu menjaga kesehatanmu Nan…
Ananda           : Baiklah Kak…
Randhika         : Kakak tutup telponnya yaaa..Assalamu’alaikum Cintaku…Anna rohimuki ( Aku sayang kamu )…
Ananda           : Wa’alaikum salam…Anna rohimuka…
Ananda kemudian meletakan kembali gagang telponnya di atas meja, kemudian kembali tidur.
BABAK VI
Setting-Sore hari di sebuah perpustakaan, cahaya matahari Nampak memancar lewat jendela perpustakaan sehingga perpustakaan tetap terang meski lampu di dalam perpustakaan tidak menyala, buku-buku tertata rapi di raknya masing-masing. Di dekat rak buku terdapat sebuah meja dengan empat buah kursi, Ananda duduk di salah satu kursi tersebut.
Ananda terlihat sedang membaca buku cerita wayang yang berjudul Tunjung Biru. Seorang laki-laki berusia 19 tahun menghampiri Ananda yang tengah menghayati cerita tersebut.
Lelaki                : Maaf mba, boleh saya duduk di kursi sebelah mba? ( Menatap ke     arah Ananda )
Ananda             : Silahkan mas…
Lelaki                : Baca buku apa mba?
Ananda             : Tunjung biru…
Lelaki                : Mba suka baca cerita wayang?
Ananda             : Iya mas…
Lelaki                : Itu kan bacaannya orangtua mba…
Ananda             : Terserah saya dong mas, siapapun berhak baca buku ini..
Lelaki                : Ya iya, maksud saya kan mba cantik…kok bacaannya kayak orangtua?
Ananda             : Loh itu urusan saya mas, mau baca buku apa aja terserah dong..
Lelaki                : Ya nggak ngambek juga kali mba…
Ananda             : Kamu kok lama-lama nyebelin ya…
Lelaki                : Ya gitu aja marah mba, kan saya cuma nanya..
Ananda             : Tapi pertanyaan kamu tuh ga penting mas…mas ngerusak mood saya aja ni…
Ananda kemudian meninggalkan lelaki itu dan keluar dari perpustakaan, lelaki tersebut segera meletakan buku yang hendak di bacanya yang berjudul Love Story di atas meja, lalu mengejar Ananda
Lelaki              : Mba…Mba..maafin saya…( Sambil setengah berlari )
Babak VII
Setting-Sebuah ruangan yang cukup luas di sebuah sanggar tari, tampak 15 orang penari sedang berlatih menari diiringi alunan musik jaipong “Ketuk Tilu”. Ananda merupakan salah satu diantara 15 orang yang sedang berlatih tari tersebut. Dari sudut pintu ruangan tersebut tampak seorang lelaki sedang memperhatikan kelincahan dan keanggunan Ananda yang sedang menari.
Lelaki              : Perempuan itu, seperti yang aku lihat kemarin lalu di perpustakaan…ternyata dia terlihat anggun ketika sedang menari…
Ananda rupanya menyadari ada seseorang yang memperhatikannya, ia menoleh ke arah pintu. Lelaki tadi memalingkan pandangannya, Ananda melanjutkan tariannya.
Lelaki              : Jantungku berdetak kencang, mungkinkah aku jatuh cinta pada perempuan itu? ( Sambil terus menatap Ananda )
Lelaki tersebut memperhatikan Ananda sampai Ananda selesai menari, Ananda berdiri di sudut ruangan sambil mengeluarkan sebuah handuk kecil di dalam tasnya kemudian mengusap wajahnya dengan handuk tersebut. Lelaki tadi kemudian menghampiri Ananda.
Lelaki              : Permisi mba..
Ananda           : ( menoleh )
Lelaki              : Mba yang waktu itu di perpustakaan kan?
Ananda           : Kamu orang menyebalkan waktu itu kan? Kenapa kamu ada di sini?
Lelaki              : Iya mba, saya anak pemilik sanggar ini mba…oh ya mba, saya mau minta maaf karena telah membuat mba bad mood waktu itu…
Ananda           : Sudahlah mas, tidak apa-apa..
Lelaki              : Terimakasih mba sudah memaafkan saya, boleh saya tau nama mba?
Ananda           : Ananda…
Lelaki              : Wah namanya cantik ya, secantik orangnya…
Ananda           : Norak nih masnya, ga ada kata-kata lain ya?
Lelaki              : Abisnya mba emang cantik sih…Saya Indra mba…
Ananda           : Nama kamu kayak di cerita wayang ya..
Lelaki              : Hahaha ( tertawa )…mba bisa aja…
Ananda           : Bisa gak mas ga panggil saya mba? Panggil saya Nanda…
Lelaki              : Sip deh mba…oopppss Nanda…kalau gitu panggil saya Indra juga, bukan mas…
Ananda           : Oke…
Lelaki              : Nanda saya boleh minta nomer telpon kamu? Besok kamu ada acara?
Ananda           : Boleh…ga ada kok Indra..
Lelaki              : ( mengeluarkan Handphone dari saku celana )…saya simpan nomernya sekarang ya Nanda…
Ananda           : 02667138424
Lelaki              : Oke deh Nanda, besok saya tunggu kamu di pantai yaaa..
Ananda           : Oke Indra, saya pulang duluan ya..
Lelaki              : Oke mba, daaaaaaahhhhh ( melambaikan tangan )
Ananda           : ( melambaikan tangan )
Ananda meninggalkan ruangan tersebut, di susul Indra yang juga keluar dari ruangan tersebut.
Babak VIII
Setting-Sore hari di tepi pantai, deburan ombak terdengar bersahutan dan kicau burung di balik pohon Casuarina terdengar sangat merdu. Angin semilir dari nyiur yang melambaipun terasa segar berhembus menembus jiwa-jiwa yang terbakar terik matahari dan cahayanya yang menyilaukan mata. Indra tampak berdiri menghadap lautan di bawah pohon Casuarina dengan tangkai daun tuannya yang hijau kecoklatan berguguran seperti hujan yang berjatuhan ke badan Indra.
Ananda menepuk bahu Indra dari belakang
Ananda           : Hai Indra…
Indra               : ( menoleh )
Ananda           : sudah lama di sini?
Indra               : baru saja Nan…( sambil tersenyum )
Ananda           : Duduk yuk…
Lalu mereka duduk di bawah pohon Casuarina yan beralaskan butiran pasir putih
Indra               : Maaf ya Nanda…seharusnya aku ajak kamu ke caffe…
Ananda           : Tidak apa-apa, aku sangat senang dengan tempat ini…
Indra               : Oh ya? Selain tempat ini kamu pasti senang menari…
Ananda           : Iya, benar sekali…aku bahkan sangat mencintai tari, seni…
Indra               :Aku juga sama, aku mencintai seni, sama seperti aku mencintaimu
Ananda           : ( Menatap Indra dengan heran )
Indra               : Saya bercanda Nan, lalu menurutmu apa itu seni?
Ananda           : Bagiku seni bukan hanya segala sesuatu yang berhubungan dengan keindahan, tapi seni juga adalah cinta…seni adalah bagian penting dalam hidupku, seni telah merasuk ke dalam jiwaku…
Indra               : Seni seperti cinta, kadang membuat kita sedih, dan kadang juga membuat kita bahagia…
Ananda           : Seni adalah salah satu cara kita untuk mengungkapkan cinta…seperti aku yang selalu menari di hadapan kekasihku ketika kami sedang bersama…hehehe ( tertawa kecil )
Indra               : Bicara tentang cinta, apa kamu pernah mencintai seseorang?
Ananda           : Iya Indra, aku pernah…aku mencintai seseorang yang tinggal di benua yang berbeda…dia adalah seseorang yang sangat berarti dalam hidupku..lalu kau?
Indra               : Aku sebenarnya mencintaimu Nan, walau pertemuan kita terlalu singkat tapi entah kenapa cinta itu mulai bersemi di hatiku sejak pertama kali aku melihatmu
Ananda           : Benarkah?
Indra               : Iya Nan, tapi sayang kau telah mencintai orang lain…tak apa Nan, aku tulus mencintaimu, aku akan mencintaimu dari jauh dengan kidung-kidung doaku yang akan selalu kupanjatkan pada Tuhan agar kau selalu bahagia…
Ananda           : Seperti  itukah cintamu?
Indra               : Iya Ananda…lalu siapakah kiranya orang paling beruntung yang mendapatkan cintamu?
Ananda           : Dia Randhika,, empat tahun lalu dia meninggalkanku di pantai ini dan keesokan harinya ia pergi ke Jerman untuk menuntut ilmu…Selama empat tahun berlalu tak pernah ada sedikitpun kabar darinya…tapi aku yakin ia akan kembali…
Indra               : Kau benar-benar setia Ananda…
Ananda           : Aku sangat mencintainya…Kerinduanku padanya saat ini bagaikan segenggam harapan yang tak sampai, terhalang lautan dan pantai yang membentang memisahkan cinta kami berdua…
Indra               : Kau bersabar saja Ananda…ada aku di sini…
Ananda           : ( menangis menahan kerinduannya )
Indra               : ( menyandarkan Ananda di bahunya )
Ananda           : Sampai detik ini aku tak tau bagaimana kabarnya…
Indra               : Sebentar lagi kau pasti akan tau kabarnya Nan…karena kau setia padanya
Mereka terus berbincang hingga matahari terbenam da kemudian mereka meninggalkan pantai secara bersamaan


BABAK IX
Setting- Sore hari di ruang tamu rumah Ananda, Ananda duduk di sofa berwarna biru tua dan tampak sedang membaca buku. Tiba- tiba terdengar suara orang yang mengetuk pintu
Tok tok tok
Ananda kemudian membuka pintu, ia sangat terkejut saat melihat dihadapannya ada sesosok pria tampan. Dia adalah Randhika…
Ananda           : Kaa…kakak…( gemetar )
Randhika         : Boleh kakak masuk Nan?
Ananda           : Iya kak…
Randhika kemudian masuk ke ruang tamu
Ananda           : Kakak kemana saja? Tak ada kabar sedikitpun selama empat tahun ini…apakah kakak merasakan getaran hatiku yang lama merindukan kasihmu kak..?
Randhika         : Maafkan kakak Nan, ceritanya sangat panjang…tapi sekarang kakak ada di sini bersamamu…kau bisa ikut bersama kakak sekarang?
Ananda           : Hari sudah sore kak…
Randhika         : Ikutlah…
Ananda dan Randhika kemudian keluar meninggalkan ruang tamu



Babak X
Setting-Senja yang berlalu sepi, mengiringi deburan ombak di Pantai Karang Hawu, udara yang cukup dingin terasa menusuk ke dalam jiwa. Gelap senja itu, diterangi kerlip bintang yang mulai bermunculan. Ananda dan Randhika berdiri tepat di pinggir pantai, mereka kemudian berhadapan.
Randhika         : Nan, apakah kemarin lalu kau bertemu seorang lelaki bernama Indra?
Ananda           : Iya kak…kenapa kakak bisa tau?
Randhika         : Dia sepupuku, aku sengaja meminta bantuannya untuk menguji kesetiaanmu Nan…dan kau benar-benar setia padaku Ananda…
Ananda           : Kakak jahat sekali…
Randhika         : Kakak hanya ingin tau apakah kau setia padaku?
Ananda           : Lalu apa kakak setia padaku?
Randhika         : Tentu saja, kakak tak seperti suami yang bertengkar dengan istrinya empat tahun yang lalu karena ia menginginkan poligami..
Ananda           : Kakak juga tau itu?
Randhika         : Kau kan pernah menceritakannnya pada kakak…
Ananda           : ( Tersipu malu )
Randhika         : ada yang ingin kakak katakan padamu…
Ananda           : ( menatap Randhika )
Randhika         : Ich liebe dich, Ananda…
Ananda           : Apa artinya?
Randhika         : Aku cinta kamu, Ananda…maukah kau menikah denganku?
Randhika mengeluarkan sebuah cincin berlian dari saku celananya
Randhika         : Demi senja yang terbenam di ufuk barat, dan disaksikan kerlipan dari ribuan bintang…di pantai ini aku bersumpah bahwa aku ingin hidup selamanya bersamamu Nan…
Ananda           : Orangtuamu Kak? Mereka tak setuju kan jika kau menikah denganku?
Randhika         : Mereka merestui kita Nanda…( memakaikan cincin berlian di jari manis Ananda )
Ananda dan Randhika kemudian saling berpelukan...Cahaya kemudian semakin meredup dan akhirnya gelap.

Art is my soul


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Drama Monolog Satu Babak "Cinta Kristal"

Pengertian Sastra

Serpihan di Atas Langit