Diandra Dalam Lara


Diandra Dalam Lara
By: Jania Nurdela

Suara petir membangunkanku dari mimpi indahku di sepertiga malam, mimpi tentang semua anganku, tentang semua asaku untuk berjumpa kembali dengannya. Seseorang yang pertama kali membuka pintu hatiku saat aku baru saja memulai masa remajaku, dan hingga kini tahtanya di jiwaku tak pernah tergantikan oleh siapapun karena sejak awal aku jatuh hati kepadanya, aku telah memutuskan untuk menghibahkan sebagian ruang di hatiku untuk ia tempati selamanya.
Adhikara, seorang laki-laki berketurunan Melayu Malaysia yang pernah tinggal di kota kelahiranku, Bogor. Dia adalah sosok laki-laki yang paling aku kagumi dalam hidupku setelah ayahku. Adhikara memiliki postur tubuh yang tinggi dan berisi seperti kebanyakan lelaki remaja lainnya, kulitnya sawo matang mendekati putih seperti kebanyakan orang melayu, wajahnya selalu berseri, bibirnya selalu tersenyum ramah pada siapapun, matanya selalu berbinar, dan memiliki pandangan yang tajam, mata yang selalu kulihat seperti langit yang tak pernah berhenti menatapku dan tak ku lihat lagi pada laki-laki manapun yang pernah ku temui hingga saat ini. Sebenarnya tak ada sesuatu yang terlalu istimewa darinya, tapi yang membedakan ia dengan laki-laki lainnya di mataku adalah cintaku padanya juga cintanya padaku yang tak akan menjadi sama dengan cinta laki-laki manapun setelahnya.
Tujuh tahun yang lalu, tepat satu hari setelah dia dinyatakan lulus dari salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri di kota Sukabumi, Adhikara memutuskan untuk pergi ke negeri Malaysia untuk melanjutkan pendidikannya. Orangtua Adhikara berpikir bahwa jika Adhi melanjutkan sekolahnya di negeri tempat ibunya dilahirkan, Adhikara akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik daripada ia melanjutkan sekolah di Indonesia, orangtua Adhikara sangat memahami potensi kecerdasan yang ada pada Adhikara. Adhikara menyetujui pendapat kedua orangtuanya demi mengejar cita-citanya menjadi seorang dokter profesional dan mendirikan sebuah rumah sakit yang membebaskan biaya pengobatan bagi siapapun. Aku masih ingat impian itu, aku, Adhikara dan Randhika (sahabat Adhikara sejak di taman kanak-kanak yang kemudian menjadi kakak angkatku hingga kini), kami bertiga membuat impian yaitu Adhikara menjadi seorang dokter dan mendirikan sebuah rumah sakit, Randhika menjadi Apoteker dan aku menjadi kepala perawat di rumah sakit tersebut.
Kini, impian tersebut hanya terwujud pada satu orang yaitu Randhika. Randhika berhasil menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Farmasi salah satu perguruan tinggi negeri di Sulawesi dua tahun lalu dan mendapatkan gelar profesi sebagai apoteker satu bulan yang lalu di salah satu universitas di Berlin, Jerman. Aku sendiri tidak melanjutkan kuliah di keperawatan, tapi kini aku menjadi mahasiswi tingkat 3 di salah satu perguruan tinggi pertanian, sedangkan Adhikara tak sempat melanjutkan pendidikannya karena dia harus menemui Tuhan lebih dulu dari kami.
......
            Malam ini mendadak penyakit insomniaku kambuh, aku tak bisa kembali memejamkan mataku. Aku putuskan untuk bangkit dari tempat tidurku, menyeduh teh manis dan duduk di kursi meja belajarku. Kutatap susunan buku-buku koleksiku yang tertata rapi, diantara susunan buku tersebut aku melihat sebuah buku diary kecil berwarna pink, kemudian aku mengambil buku tersebut dan membacanya. Lembar demi lembar diary tersebut aku buka dan ku baca, sampai pada satu halaman yang seharusnya tak boleh ku lihat lagi.
Dear : Diary
6 Januari 2008
Dua hari yang lalu adalah hari ulang tahunku yang ke 15 tahun, sejak pukul 00.01 tanggal 4 Januari 2008 aku menunggu kabar dari Adhikara. Biasanya Adhikara adalah orang pertama yang memanjatkan do’a untukku di hari kelahiranku, tapi hari itu Adhikara tidak seperti biasanya. Jangankan do’a darinya, semilir angin yang membawa kabar tentangnya juga tak kunjung tiba. Hingga hari mulai petang dan mataku tak sanggup lagi menatap layar telepon genggamku, berharap telepon genggamku berbunyi dan Adhikara menelponku atau paling tidak mengirim pesan singkat. Aku tertidur lelap malam itu karena lelah menanti ketidakpastian tentang Adhikara.
Aku tetap menunggu kabar darinya hingga matahari kembali menyinari bumi, tapi tidak dengan hatiku yang tiba-tiba menjadi redup karena mendengar kabar yang tidak membahagiakan dari seorang sahabat yang sudah aku anggap seperti kakak kandungku bahwa, “ADHIKARA TELAH PULANG KE TEMPAT YANG DAMAI UNTUK SELAMANYA”.
Seketika itupun hatiku seperti terjatuh dari tebing yang tinggi dan menimpa batuan besar hingga tak nampak lagi serpihannya, hatiku benar-benar hancur dan mulutku membisu. Ingin rasanya melepaskan nyawa ini dari ragaku agar aku dapat mengejar orang yang aku cintai ke alam yang berbeda.
Musim hujan telah dimulai sejak bulan oktober, tapi hari ini hujan turun lebih deras daripada biasanya. Kawanan awan yang mendung tak berujung, dan matahari yang tak lagi berani untuk menampakan diri diantarara kilapan petir. Wajahku murung, wajahku mendung tak berujung dan air mataku tak pernah berhenti menetes bagaikan hujan yang tak pernah berhenti sepanjang malam.
Tuhan peluk aku sejenak, aku tak tahu lagi bagaimana aku harus mengarungi samudera dengan bahtera tanpa nahkoda atau bagaimana aku aku harus mengayun sampan dengan tangan kosong sampai ke tepian sungai. Tuhan lindungilah ia di sana, dan berikan aku kekuatan untuk tetap menjalani hidupku tanpanya.
Sejak mendengar kabar itu, wajahku tak pernah sedetikpun kering dari air mata, aku tak pernah tau sampai kapan aku akan tetap menangisi kepergiannya, sampai kapan hujan akan reda. Aku tau Adhikara akan bersedih melihatku seperti ini, namun sepertinya air mata ini tak akan berhenti menetes sampai pada suatu hari aku dapat menemui Tuhan, sama seperti dirinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Drama Monolog Satu Babak "Cinta Kristal"

Pengertian Sastra

Serpihan di Atas Langit